TUGAS MAKALAH HUKUM
AGRARIA
PERANAN
PEMERINTAH TERHADAP MASALAH TANAH DI INDONESIA
DISUSUN OLEH :
SUWITO
NPM : 07.11.108.501101.002724
UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
TENGGARONG
2011
|
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha
Pemurah, karena berkat kemurahanNya
makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas “Peranan Pemerintah
Terhadap Masalah Tanah Di Indonesia”, suatu permasalahan yang
selalu dialami bagi masyarakat di Indonesia.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah bagaimana peranan
pemerintah terhadap masalah tanah dan sekaligus melakukan apa
yang menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Hukum Agraria”
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Tenggarong,
20 Juli 2011
|
|
KAKAT
PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR
ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................. 2
C. Tujuan
Dan Manfaat Penelitian ........................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Peranan
Pemerintah Terhadap Masalah Tanah ................................. 4
B. Pengertian Sengketa Tanah .............................................................. 7
C. Penyelesaian Sengketa Tanah ........................................................... 7
D. Kekuatan Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah .......... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
....................................................................................... 11
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan
kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan
aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan
tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung
maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal
dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi
kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan
menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa
tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian
antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi. Masalah tanah erat sekali
hubungannya dengan manusia sebagai pemenuhan kebutuhannya demi kelangsungan
hidupnya demikian juga hubungan. Manusia sebagai anggota masyarakat dengan
pemerintah sebagai penguasa tertinggi dalam Negara sekaligus penggerak untuk
teruwudnya pembangunan demi untuk peningkatan taraf hidup dari masyarakat.
Persoalan tentang tanah dalam kehidupan manusia
mempunyai arti yang sangat penting sekali oleh karena sebagian besar daripada
kehidupannya adalah tergantung pada tanah. Tanah dapat dinilai sebagai suatu
harta yang mempunyai sifat permanen dan dapat dicadangkan untuk kehidupan masa
mendatang. Tanah adalah tempat pemukiman dari sebagian ummat manusia, disamping
sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha tani
dan perkebunan dan pada akhirnya tanah pulalah yang dijadikan tempat
persemayaman terakhir bagi seseorang yang meninggaI dunia.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita
lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA.
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak
(orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik
terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir
seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka,
negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA)
baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya
bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.
Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya
terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang
berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang
bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.
B. Rumusan
Masalah
Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah
sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini.
Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang
berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang
menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan
kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara lain :
1.
Bagaimana
Peranan Pemerintah terhadap masalah tanah
2.
Apa arti dari
sengketa Tanah ?
3.
Sejauh mana
kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan penelitian dari paper ini yaitu :
1. Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti
dalam penyelesaian sengketa tanah.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian terbaik terhadap tanah yang
dijadikan obyek sengketa tersebut .
3. Guna menambah wawasan dan pengetahuan bagi para mahasiswa mengenai cara
menangani suatu sengketa atas tanah .
4. Dapat bermanfaat dan memberikan informasi tentang bagaimana proses
penguasaan tanah, jaminan hukumnya, serta penyelesaian mengenai sengketa tanah
bagi para mahasiswa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peranan
Pemerintah Terhadap Masalah Tanah
Penciptakan
masyarakat adil dan makmur merupakan tujuan negara Republik Indonesia dan
pembangunan yang merupakan dasar program pemerintah untuk seluruh wilayah
Indonsia. Dalam melaksanakan pembangunan ini faktor utama yang paling penting
adalah tanah.Seperti pembuatan jalan raya , pelabuhan-pelabuhan,
bangunan-bangunan untuk industri, pertambangan, perumahan dan kesehatan dan
lain-lain demi kepentingan masyarakat.
Untuk
memperoleh tanah ini peranan pemerintah sangat diperlukan karena terkadang
tanah yang akan didirikan atau bangunan tersebut adalah milik rakyat, sehingga
untuk - memperolehnya harus melalui pemerintahan yaitu dengan cara pencabutan
hak atas tanah dan pembebasan hak atas tanah. Peranan pemerintah atas tanah dalam rangka
mewujudkan catur tertib pertanahan sangat penting sekali sehingga dalam hal ini
pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Catur
tertib pertanahan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah dalam
memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus
mengindahkan prinsip-prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan
kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah
pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu
stabilitas masyarakat.
Atas dasar itu maka pemerintah berperan dalam pemberian hak
milik atas tanah negara agar tidak menimbulkan berbagai masalah atau sengketa
tanah, diperlukan adanya pengaturan yang tegas dan landasan hukum yang kuat
dibidang pertanahan. Sehubungan dengan pemberian hak milik atas tanah negara
maka ditetapkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Sedangkan dalam pelimpahan kewenangannya
diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Hak
Atas Tanah Negara.
Dengan adanya aturan tersebut diharapkan agar lebih mengarah
pada catur tertib dibidang pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib
administrasi pertanahan, tertib pemeliharaan pertanahan dan tertib penggunaan
pertanahan.
Serta untuk mempermudah masyarakat mendapatkan status hak
tanahnya di Kantor Pertanahan.
Peranan pemerintah atas tanah dalam rangka pembangunan
sangat penting sekali sehingga dalam hal ini pemerintah harus dapat menjalankan
fungsinya dengan baik dan benar. Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran
rakyat. Pemerintah dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan
tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsip – prinsip hukum akan tetapi juga
harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan
agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang
mengganggu stabilitas masyarakat.
Dalam masa pembangunan dewasa ini persediaan tanah untuk
proyek-proyek pembangunan sangatlah terbatas. Berkenaan dengan pengambilan
tanah-tanah penduduk untuk keperluan pembangunan ada dua cara yang ditempuh
pemerintah yaitu :
a.
Pencabutan hak atas tanah (ontoi
gening) adalah : Pengambilan tanah kepunyaan seseorang oleh negara secara paksa
yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi terhapus tanpa yang bersangkutan
melakukan suatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum.
b.
Pembebasan tanah (prijsgeving) adalah :
Melepaskan hubungan semula yang terdapat diantara pemegang
atau penguasa tanah dengan cara memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah
dengan pihak yang bersangkutan.
Pembebasan tanah
hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pihak pemegang hak baik
mengenai besar dan bentuk ganti rugi yang diberikan terhadap tanahnya. Jadi
perbuatan iniI haruslah didasarkan kesukarelaan si pemegang hak. Bagaimana
kalau si pemegang hak dapat bersedia untuk menyerahkan tanahnya, maka pihak
pemerintah melalui panitia tanah khusus untuk itu harus mengusahakan agar
supaya diserahkannya tanah tersebut secara sukarela. Bilamana instansi
pemerintah memerlukan tanah untuk keperluan tertentu sedangkan di atas tanah
tersebut masih dipenuhi dengan hak tertentu harus mengajukan permohonan
pembebasan, hak atas tanah kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang
ditunjuk dengan mengemukakan tujuan penggunaan tanahnya. Dalam hal pembebasan
tanah ini terdapat dua kepentingan yang seimbang yaitu
kepentingan pemegang hak atas tanahnya tentu menginginkan sejumlah ganti rugi
dari kepentingan pemerintah dilain pihak yaitu melaksanakan pembangunan Dengan
alasannya dua kepentingan yang berbeda, maka. Persoalan akan tanah semakin
rumit dalam hal ini tentu memerlukan pemecahan permasalahan pertanahan
yang harus mendasarkan kepada kedua kepentingan yang berbeda tadi, sehingga
disamping terlaksananya pembangunan yang diprogramkan tetap terpelihara serta
hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat untuk meningkatkan
pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam memecahkan
masalah pertanahan yang dilakukan olen
pemerintah daerah tentunya tidak terlepas pada peraturan perundang-undangan
serta kebijaksanaan – kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah setempat dimana
ada permasalahan tentang tanah- tanah yang diperuntukkan dalam pembangunan.
Adapun yang berhak dalam pembesan hak atas tanah ini adalah
Panitia pembebasan yang melakukan pemeriksaan pene1itian dan penetapan ganti
rugi dalam rangka Pembebasan hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan atau
tanaman yang ada di atasnya yang pembentukannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala
Daerah untuk masing-masing Kabupaten, Kotamadya dalam suatu Wilayah Propinsi
yang bersangkutan.
Bagi masyarakat Indonesia hak atas tanah dan
benda- benda yang ada diatasnya merupakan hukum yang penting, namun apabila,
benar-benar diperlukan dapat dilakukan pencabutan dan pembebasan hak tersebut
untuk kepentingan pembangunan. Timbul permasalahan sejauh mana peranan
pemerintah atas tanah dalam rangka melaksanakan pembangunan dan bagaimana upaya
pemerintah dalam hal pemecahan masalah pertanahan yang timbul.
Penciptakan masyarakat adil dan makmur merupakan
tujuan negara Republik Indonesia dan dan catur tertib pemerintahan merupakan
program pemerintah untuk mewujudkan tertib pemerintahan. Secara umum UUPA membedakan tanah
menjadi:
1. Tanah Hak
Tanah hak adalah tanah yang telah
dibebani sesuatu hak diatasnya, tanah hak juga dikuasai oleh negara tetapi
penggunaannya tidak langsung sebab ada hak pihak tertentu diatasnya.
2. Tanah Negara
Tanah negara adalah tanah yang
langsung dikuasai negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain diatas
tanah itu, tanah itu disebut juga tanah negara bebas.
B. Pengertian Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan
pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus
pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
· Harga tanah
yang meningkat dengan cepat.
· Kondisi
masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
· Iklim
keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang
pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan
dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan
hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna
kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud
antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang
berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).
C. Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara
penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan
dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah
ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka
atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin
mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta
merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Kasus
pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
1. mengenai masalah status tanah,
2. masalah kepemilikan,
3. masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan
sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat
yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan
pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian
ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih
lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana
kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur,
kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau
badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat
perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor
Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang
harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa.
Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional
tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri
No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka
diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status
quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB)
dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan
setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata
Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum
Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas
keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan
masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional
untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang
bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah.
Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator
di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati
pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian
secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti
tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat
dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila
perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam
penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan
tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3
Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang
bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan
melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
D. Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan
adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama
akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka
sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa
benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa
pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada
pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik
mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam menyongsong lajunya pembangunan
hubungannya dengan tanah merupakan permasalahan yang cukup peka, karena dengan
meningkatnya kegiatan pembangunan dewasa ini maka kebutuhan akan tanah untuk
keperluan berbagai proyek juga turut meningkat. Sedangkan dilain pihak
penyediaan tanan untuk itu kurang. Untuk memenuhi kebutuhan akan tanah tersebut
perlu penanggulangan yang serius, mengingat persoalan tanah adalah sangat
sensitif karena hubungan tanah bukan halnya sekedar mengandung aspek ekonomis,
tetapi juga kesejahteraan sosial, politik, kultural, psikologis, religlus.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka pemerintah dalam memecahkan berbagai
masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan
prinsip-prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan
sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut
tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu kestabilitas masyarakat. Demikian
pentingnya peranan (kegunaan ) tanah dalam rangka pernbangunan sehingga mungkin
pihak - pihak yang terkait dalam hak - haknya atas tanah menjadi korban pihak
segelintir oknum - oknum yang tidak bertanggung jawab dengan kedok pembebasan
tanah dalam rangka pembangunan. Dalam hal ini tentu peranan pemerintah daerah
setempat sangat diperlukan sekali mendalami masalah - masalah pertanahan
sehingga hal - hal yang merugikan bagi pihak yang terkena pembebasa, haknya
atas tanah dapat segera ditanggulanginya.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh,Muhammad,sh.
: Beberapa Ciri Khas Rukum
Administrasi Kegara Indonesia, Penerbit
Fakultas
Hukum USU ,Medan, 1979.
Abdurrahman, SR. : Masalah
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum, Majalah Hukum,
Penerbit : Yayasan Penerbitan dan Pengembangan Hukum (Law Centre), No.4 thn ke
II & III, 1976.
Parlindungan,
A.P.DR.SH. : Komentar atas UUPA,
Penerbit Alumni Bandung, 1980.
Purbopranoto, Kuntjoro, Mr. Prof. : Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, Penerbit Bina Ci-pta
Bandung , tahun 1981.